Laporan Praktikum Ekologi Laut Tropis Pengamatan Ekosistem Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang

Halo sahabat sekalian, pada kesempatan kali ini kami akan membagikan referensi untuk Laporan Praktikum Ekologi Laut Tropis Pengamatan Ekosistem Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang. Ingat ya ini sebagai referensi bukan sebagai bahan untuk di copy-paste sepenuhnya. Berusahalah membuat laporan sebaik mungkin dengan usaha dan pengetahuan kalian sendiri atau berimproviasasi dari laporan yang kami sediakan ini juga tidak masalah selama kalian tidak menelannya bulat-bulat ya hehehe... Baiklah langsung saja berikut ini isi dari Laporan Praktikum Ekologi Laut Tropis Pengamatan Ekosistem Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang. Semoga membantu :)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekologi Laut Tropis adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara mahluk hidup terhadap lingkungannya dalam hal ini adalah laut tropis. Terdapat 3 ekosistem utama yang menyusun ekosistem laut tropis yaitu ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun. Ekosistem ini dipengaruhi oleh berbagai parameter yang sangat beragam seperti arus, gelombang, angin ataupun suhu yang dapat berfluktuasi secara terduga.
Eksistensi dari ketiga komponen penyusun ekosistem laut tropis ini sangatlah vital karena saling terhubung satu sama lainnya. Setidaknya, terdapat 5 interaksi yang menjadi kajian terhadap ketiga ekosistem ini baik yang disebabkan oleh alam itu sendiri maupun karena pengaruh dari luar. Adapun kelima interaksi tersebut  yaitu interaksi fisik, interaksi bahan organik teralarut, interaksi bahan organik partikel, migrasi fauna dan dampak karena manusia.  (Ogden dan Gladfelter, 1983).
Meskipun ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun merupakan komponen penyusun ekosistem laut tropis, parameter yang mempengaruhi setiap ekosistemnya tidaklah sama. Seperti mangrove yang berada dekat daratan dimana daya toleransinya terhadap perubahan tinggi berbeda dengan terumbu karang yang daya toleransinya terhadap perubahan lingkungan tergolong rendah. Meskipun mempunyai paramater pembatas yang berbeda, namun kondisi dari masing-masing ekosistem ini saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Pasca tsunami 2004 yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terjadi kerusakan yang sangat parah pada ekosistem pesisir. Hancurnya ekosistem pesisir menjadi perhatian yang sangat besar terhadap pemerintah dan para penggiat lingkungan. Saat ini 12 tahun terlah berlalu sejak terjadinya tsunami yang meluluhlantakan daerah ini. Proses pemulihan kembali (recovery) juga sudah terlihat pada ketiga ekosistem ini. 

1.2 Tujuan 
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk :
a) Mengetahui pertumbuhan vegetasi mangrove pada kawasan rehabilitasi dengan mengukur panjang dan lebar daun, serta tinggi dan diameter vegetasi mangrove.
b) Mengukur vegetasi mangrove beserta struktur komunitas plankton (fitoplankton dan zooplankton).
c) Melakukan beberapa metode pengambilan data terumbu karang.
d) Melakukan pengolahan dan analisa data terumbu karang.
e) Mengenal hewan/biota yang berasosiasi dengan terumbu karang.
f) Mengenali dan membedakan jenis-jenis lamun.
g) Melakukan pengambilan data lamun.
h) Melakukan pengolahan dan analisa data lamun.

1.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah
a) Mampu melakukan pengukuran terhadap vegetasi mangrove
b) Mampu melakukan pengamatan struktur komunitas plankton pada ekosistem mangrove.
c) Mampu mengambil data terumbu karang berdasarkan metode yang ada.
d) Mampu mengenali hewan/biota yang berasosisasi dengan terumbu karang.
e) Mampu membekan jenis-jenis lamun.
f) Mampu melakukan pengambilan data lamun.
g) Mampu melakukan pengolan dan analisa data lamun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Laut Tropis
    Ekosistem merupakan unit fungsional dasar dalam ekologi yang di dalamnya tercakup organisme dan lingkungannya (biotik dan abiotik) dan diantara keduanya saling mempengaruhi (Odum, 1971 dalam Kordi, 2011). Ekosistem di daerah pesisir sangat beranekaragam, diantaranya terdapat tiga ekosistem penting yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Secara prinsipnya ada 4 fungsi pokok ekosistem tersebut bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Bengen, 2001).
    Ekosistem laut tropis memiliki beberapa ciri yang berbeda dengan eksoistem laut di daerah lain seperti : sinar matahari terus-menerus sepanjang tahun (hanya ada dua musim, hujan dan kemarau) hal ini merupakan kondisi optimal bagi produksi fitoplankton, memiliki tingkat predasi yang tinggi, jaring-jaring makanan dan struktur trofik komunitas pelagic, yang secara umum terdiri dari algae, herbivor, penyaring, predator dan predator tertinggi, serta memiliki tingkat keragaman yang tinggi dengan jumlah sedikit apabila dibandingkan dengan tipe daerah seperti subtropis dan kutub (den Hartog, 1977).
    Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu system. Organisme akan beradapatasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga mempengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup. Pengertian ini didasarkan pada Hipotesis Gaia, yaitu : “organisme, khususnya mikroorganisme, bersama-sama dengan lingkungan fisik menghasilkan suatu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi, cocok untuk kehidupan”(Broto. S. , 2006).
    Fungsi ekosistem menunjukkan hubungan sebab-akibat yang terjadi secara keseluruhan tanpa komponen dalam sistem. Ini jelas membuktikan bahwa ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari seluruh pola hubungan timbal-balik antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya, serta semua komponen yang ada disekitarnya (Irwanto, 2006).

2.2 Ekosistem Mangrove
    Mangrove adalah sebutan umum untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa species pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove merupakan tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan untuk seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini (Geisen et al, 2006).
Hutan mangrove sangat berbeda dengan tumbuhan lain di hutan pedalaman tropis dan subtropis karena letaknya yang dialiri oleh masukan air tawar dan air asin serta daya adaptasinya yang sangat tinggi. Adapun adapatasi yang dimiliki hutan mangrove yaitu mampu hidup dengan kadar oksigen di perairan yang rendah karena mempunyai akar napas (penumatofora) untuk mengambil oksigen dari udara, adaptasi terhadap kadar garam (salinitas) yang  tinggi karena mempunyai daun yang tebal dan kuat (Sherman et al., 2000).
Mangrove mampu mempertahankan garis pantai dengan cara meneruskan gelombang dan menerima run off dari daratan. Mangrove dapat menstabilisasi substrat dan meningkatkan akresi, sehingga sedimen pada daerah mangrove akan memiliki karakteristik yang berbeda. Distribusi dan kelimpahan mangrove dipengaruhi oleh interaksi perubahan air pada saat pasang surut, salinitas tanah, dan kondisi perairan sehingga produktivitas ekosistem mangrove tergantung pada hubungan faktor di atas dan tingkat konsentasi nutrien yang tinggi yang terkandung di dalam air laut. Mangrove menunjukkan karakteristik zonasi yang jelas dengan adanya jenis-jenis genus tertentu pada tiap zona, dan zonasi tersebut tergantung pada periode penggenangan,salinitas dan karakterisitik sedimen (Anantakarisnan,1982).

2.3 Ekosistem Lamun
    Lamun didefenisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu berdapatasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup tergenang di dalam air dan memiliki rhizoma, daun dan akar sejati. Beberapa ahli juga mendefenisikan lamun (sea grass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air lau, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas (Kikuchi dan J. M. Peres, 1977).
    Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir atau laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang (Calumpong,1983).
    Lamun mampu menyerap nutrien dari dalma substrat (interstilial) melalui sistem akar-rhizoma. Selanjutnya, fiksasi nitrogen yang dilakukan oleh bakteri heterotropik di dalam rihizosper. Koloni bakteri yang ditemukan di lamun cukup tinggi dan memiliki peran yang penting dalam penyerapan nitrogen dan penyaluran nutrien oleh akar. Fikasasi nitrogen merupakan prosesn yang penting karena nitrogen merupakan unsur dasar yang penting dalam metabloisme untuk menyusun struktur komponen sel (Patriquin, 1972).
    Fungsi lamun tidak banyak dipahami, banyak padang lamun yang rusak oleh berbagai aktivitas manusia. Padang lamun di Indonesia mengalami penyusutan luasan 30 - 40 % dari luas keseluruhanya yang diakibatkan oleh aktivitas manusia secara langsung (Nontji, 2005).

2.4 Terumbu Karang
    Terumbu adalah deposti berbentuk masif dari kalsium karbonat yang diproduksi oleh karang (phylum : cnidaria, ordo : scelaractinia) dengan tambahan utama dari callacerous algae dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Malikusworo, 1998).
    Terumbu karang (Coral reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut (Tomascik, 1997).
    Terumbu karang merupakan suatu ekosistem unik perairan tropis dengan tingkat produktifitas dan keanekaragaman biota yang sangat tinggi. Peranan biofisik ekosistem terumbu karang sangat beragam, diantaranya sebagai tempat tinggal, tempat berlindung, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi beragam biota laut, disamping berperan sebagai penahan gelombang dan ombak serta sebagai penghasil sumberdaya hayati yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan karang adalah salah satunya (Nontji, A. 1993).
    Secara umum, interaksi antara ikan karang dengan habitatnya meliputi tiga bentuk utama. Pertama, adanya hubungan langsung antara struktur terumbu dan tempat perlindungan. Hal ini akan terlihat jelas pada ikan-ikan yang kecil. Kedua, adanya interaksi pola makan yang melibatkan beberapa ikan karang dan biota sesil, termasuk alga. Lebih jauh interaksi ini penting bagi eksistensi karang yaitu penyedian substrat dasar. Ketiga, adanya suatu interaksi peran yang melibatkan struktur terumbu dan pola makan dari planktivora dan karnivora yan berasosiasi dengan terumbu (Nontji, A. 1993).
    Setiap jenis karang meiliki bentuk koloni yang khas, ada yang bercabang, pipih/lempengan, bulatan besar, dan lain sebagainya. Bentuk-bentukkoloni yang dibangun oleh karang sangat dipengaruhi oleh faktor genetik karang serta berbagai faktor lingkungan seperti arus, kedalaman, cahaya matahari, dan lain-lain. Sehingga bentuk koloni saja tidak dapat dijadikan acuan dalam mengidentifikasi jenis-jenis karang. Beberapa jenis karang yang umum dijumpai antara lain karang bercabang dan karang meja dari genus Acropora, karang mawar dari genus Montipora, karang otak dari genus porites atau favia, karang bercabang dari genus Pocilopora, Karang jamur dari genus Fungia yang umumnya hidup bebas dan berbentuk seperti piringan, dan karang biru dari genus Heliopora (bagian dalam kerangka karan ini berwarna biru, sedangkan kebanyakan jenis karang lain berkerangka putih) (Razak,2005).
2.5 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ekosistem Laut Tropis
2.5.1 Faktor Fisika
    Kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan aktifitas fotosintesa.Kecerahan merupakan faktor penting bagi proses fotosintesa dan produksi primer dalam suatu perairan. Seperti diketahui fotosintesa rumput laut sangat membutuhkan cahaya dan apabila aktifitas fotosintesa terganggu maka akan mengakibatkan pertumbuhan rumput laut yang tidak optimal (Romimohtanto ,2001).
Adanya perpindahan panas antara udara dan perairan dengan sendirinya berpengaruh terhadap distribusi dan pertumbuhan karang di lautan. Karang pembangun terumbu terbatas hanya pada perairan tropik dan sub tropik, dengan suhu permukaan perairan tidak berada di bawah 180°C. Meskipun batas toleransi karang terhadap suhu bervariasi antar spesies atau antardaerah pada spesies yang sama, tetapi dapat dinyatakan bahwa karang dan organisme-organisme terumbu hidup pada suhu dekat dengan batas atas toleransinya, oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa hewan karang toleransinya terhadap suhu relatif sempit. Peningkatan suhu hanya beberapa derajat di atas ambang batas (2-3°C) dapat mengurangi laju pertumbuhan atau kematian yang luas pada spesies-spesies karang secara umum (Rani,2014).

2.5.2 Faktor Kimia
    Salinitas disamping suhu, merupakan faktor abiotik yang sangat menentukan penyebaran biota laut. Perairan dengna salinitas lebih rendah atau lebih tinggi daripada pengoyangan normal air laut merupakan faktor penghambat (limiting factor) untuk penyebaran biota laut tertentu. Pengadukan air laut  normal secara global berkisar antar 33 ppt sampai dengan 37 ppt dengan nilai tengah sekitar 35 ppt. Walaupun demikian terdapat kondisi ekstrim alami, seperti di laut Merah pada saat tertentu salinitas air laut dapat mencapai 40 ppt ataupun seperti contoh di laut Baltik, terutama di sekitar teluk Bohnia salinitas air laut dapat mencapai titik terendah yaitu sekitar 2 ppt. Perairan muara suangai dan estuaria biasanya mempunyai salinitas lebih rendah dari air laut norman dan disebut sebagai perairan payau (brackish water) (Aziz, 2013).
    Kondisi asam atau basa pada eprairan ditentukan berdsarakan nilai pH (power Hydrogen). Nilai pH berkisar antara 0-14,yang mana pH 7 merupakan pH normal, dibawah 7 menunjukkan air bersifat asam dan diatas 7 menunjukkan air bersifat basa. Pengaruh pH terhadap biota terletak pada aktivitas enzim, misalnya dalam keadaan asam enzim akan mengalami protonasi. Keasaman juga berpengaruh pada tingkat kelarutan suatu nutrien dalam perairan, yang menentukan keberadaan prganisme (Jeffri,2013).
    Dissolved Oxygen atau oksigen terlarut sangat menentukan kehidupan biota di perairan. Oksigen merupakan akseptor elektron dalam reaksi respirasi, sehingga banyak dibutuhkan oleh biota aerobik. Oksigen juga mempengaruhi kelarutan dan ketersediaan berbagai jenis nutrien dalam air. Kodisi oksigen terlarut yang rendah memungkinkan adanya aktivitas bakteri anerobik pada badan air. Oksigen terlarut dipengaruhi oleh beberaoa hal, antara lain penutupan vegetasi, BOD (Biological Oxygen Deman), perkembangan fitoplantkon, ukuran badan air, dan adanya arus angin (Jeffri,2013).

2.5.3 Faktor Aktivitas Manusia
    Kegiatan manusia memiliki dampak yang bervariasi terhadap ekosistem laut tropis, dari yang sifatnya sementara atau dapat diatasi secara alami oleh sistem ekologi masing-masing ekosistem hingga yang bersifat merusak secara permanen hingga menyebabkan ekosistem tersebut menghilang. Kerusakan yang terjadi terhadpa salah satu ekosistem dapat menimbulkan dampak lanjutan bagi aliran antar ekosistem maupun ekosistem lain di sekitarnya. Khusus bagi komunitas lamun dan mangrove, gangguan yang parah karena aktivitas manusia dapat menyebabkan kepunahan dari ekosistem tersebut. Bagi ekosistem terumbu karang, akan terjadi konversi dari habitat dasar komunitas karang batu yang keras menjadi komunitas yang didominasi oleh biota lunak seperti alga dan karang lunak (Dedi,2007).
    Peningkatan jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan jumlah pembagnunan, termasuk di daerah pesisi dan sepanjang aliran sungai yang akan menimbulkan ancaman bagi keberadaan ekosistem mangrove yang mempunyai peran sebagai penyaring sedimen dan hara. Ancaman lainnya aktivitas pertanian yang menggunakan pupuk akan mengubah perairan menjadi terlalu subur sehingga terjadi blooming algae yang dapat menyebabkan kematian bagi biota yang berada di perairain (Rani,2013).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Pembahasan
4.2.1 Ekosistem Mangrove
    Pengamatan ekosistem mangrove dilakukan di desa Lamtengouh, Kecamatan Peukan Bada,  Kabupaten Aceh Besar. Terdapat dua jenis pengamatan yang dilakukan pada ekosistem ini yaitu pengamatan vegetasi mangrove dan pengamatna terhadap struktur komunitas plankton yang meliputi zooplankton dan fitoplankton. Pengamatan terhadap vegetasi mangrove dilakukan dengan metode transek garis kuadrat dimana terdapat 3 jenis transek garis kuadrat yang digunakan yaitu ukuran 10 x 10 m untuk menghitung jumlah vegetasi mangrove dewasa, ukuran 5 x 5 m untuk menghitung jumlah vegetasi mangrove anakan dan ukuran 1 x 1 m untuk menghitung jumlah vegetasi mangrove semai.
    Berdasarkan pada pengamatan yang telah dilakukan dengan metode yang telah disebutkan diatas didapat pohon dewasa sebanyak 45 buah, pohon anakan 6 buah dan semai sebanyak 1 buah, adapun spesies dari mangrove yang didapat hanya 1 spesies saja yaitu Rhizopora mucronata. Kehadiran spesies Rhizopora mucronata ini didukung oleh kondisi dari lingkungan tempat pengamatan dilakukan. Kondisi substrat dari ekosistem mangrove ini adalah lumpur lunak dan masih terkena masukan air laut saat pasang datang. Selain itu Anantakarisnan (1982) juga menyebutkan bahwa “distribusi dan kelimpahan mangrove dipengaruhi oleh interaksi perubahan air pada saat pasang surut, salinitas tanah, dan kondisi perairan sehingga produktivitas ekosistem mangrove tergantung pada hubungan faktor di atas dan tingkat konsentasi nutrien yang tinggi yang terkandung di dalam air laut. Mangrove menunjukkan karakteristik zonasi yang jelas dengan adanya jenis-jenis genus tertentu pada tiap zona, dan zonasi tersebut tergantung pada periode penggenangan,salinitas dan karakterisitik sedimen”.
     Adapun DBH tertinggi yang didapat adalah 31 cm yang didapat dari pohon dewasa dan nilai DBH terendah 7,65 cm yand diperoleh dari batang pohon semai. Berdasarkan pada pengolahan data yang telah dilakukan diketahui bahwa nilai kerapatan jenis dari R. mucronata berturut-turut mulai dari pohon dewasa hingga semai adalah 0,45 , 0,06 dan 0,01. Lalu selanjutnya yaitu nilai kerapatan jenis relatif yang didasarkan pada nilai kerapatan jenis diperoleh nilai sebesar 1,8 , 0,24 , dan 0,04 berturut-turut untuk pohon dewasa, anakan dan semai.
    Frekuensi ditemukannya mangrove spesies Rhizopora mucronata adalah satu dimasing-masing kategorinya dan begitupun nilai frekuensi relatifnya yang sama untuk ketiga kategori pohonnya yaitu 33,3%. Nilai tersebut terjadi karena pada area pengamatan hanya ditemukan satu jenis individu saja sehingga nilai frekuensi dan frekuensi relatifnya menjadi seragam. Perhitungan yang juga dilakukan berdasarkan pada pengamatan di ekosistem ini adalah perhitungan terhadap penutupan jenis dan penutupan jenis relatif. Untuk kategori pohon dewasa nilai penutupan jenis dan penutupan jenis relatifnya masing-masing adalah 7,54 dan 11,39. Berikutnya untuk kategori anakan masing-masing adalah 12,71 dan 19,2 serta untuk kategori semai masing-masing adalah 45,94 dan 69,4.
    Perhitungan terhadap data-data diatas dilakukan untuk mendapatkan indeks nilai penting (INP) dari vegetasi mangrove di daerah pengamatan. Indeks nilai penting didapat dari penjumlahan nilai kerapatan jenis relatif, frekuensi jenis relatif dan penutupan jenis relatif. Berdasarkan penjumlahan dari ketiga kategori perhitungan tersebut maka didapat indeks nilai penting dari vegetasi mangrove di daerah ini sebesar 201,97%. Nilai tersebut memberikan informasi bahwa keadaan vegetasi mangrove dari daerah ini cukup baik, mengingat nilai maksimum untuk indeks nilai penting adalah 300% dimana semakin mendekati nilai 300% maka semakin baik pula vegetasi mangrove di suatu daerah.
    Selain perhitungan indeks nilai penting, pada ekosistem mangrove ini juga dilakukan pengamatan terhadap struktur komunitas plankton. Pengmatan plankton dilakukan dengan cara manual yaitu pengamatan menggunakan mikroskop dengan metode pengamatan luas lapang pandang. Sampel diambil menggunakan planktonet dengan menyaring air sebanyak 100 L menggunakan media ember. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di laboratorium ditemukan plankton yang paling banyak pada plot 1 dengan 6 jenis plankton  yang terdiri dari fitoplankton dan zooplankton. Berikutnya pada plot 2 dan 3 ditemukan masing-masing 5 jenis plankton yang berbeda.
   Adapun plankton yang teridentifikasi didominasi oleh fitoplankton. Banyaknya fitoplankton di daerah ini mengindikasikan bahwa nutrien yang ada di daerah ini cukup tinggi sehingga fitoplankton dapat hidup dengan subur. Kesuburan dari perairan ini tentunya merupakan akibat dari penguraian serasah di daerah ini yang juga dipengaruhi oleh indeks nilai penting dari mangove itu sendiri. Adapun nilai kelimpahan yang didapatkan melalui pengolahan data adalah senilai 377.45.
    Kelimpahan plankton juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti cahaya matahari dan salinitas. Kedua faktor ini adalah salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam mengidentifikasi struktur komunitas plankton. Ditmabah lagi dengan keadaan lingkungan disekitar ekosistem mangrove yang umumnya sangat cepat berubah. Untuk daerah pengamatan ini sendiri, pada saat pasang tertinggi maka air akan mencapai daerah ekosistem mangrove sementara saat surut terendah maka ekosistem mangrove ini akan kering dan tampak substrat lumpur tempat mangrove menancapkan akar-akarnya sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan dari plankton yang berada pada daerah ini awalnya dibawa oleh arus pasang air di lautan. 
    Dari spesies plankton yang didapat tidak terdapat dominansi di dalamnya karena jumlah individu dari masing-masing spesies yang teridentifikasi adalah 1. Jika dikaji dari sudut pandang ekologi, hal ini mengartikan bahwa telah terjadi keseimbangan untuk struktur komunitas plankton pada perairan vegetasi mangrove ini.
    Keberadaan mangrove sangat penting bagi keseimbangan ekosistem pesisir baik kaitannya terhadap dua ekosistem lainnya (lamun dan terumbu karang) maupun terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir yang tinggal disekitar ekosistem mangrove tersebut. Salah satu fungsi mangrove yang paling dilihat adalah sebagai sabuk hijau, yang dimaksudkan untuk menjaga garis pantai dari proses abrasi. Selain itu keberadaan mangrove juga dimanfaatkan bagi biota-biota yang hidup disekitarnya untuk dijadikan feeding, nursery  dan spawning ground. Bagi masyarakat dalam hal ini dilihat dari sudut pandang sosial-ekonomi, mangrove memiliki sangat banyak potensi yang dapat dikembangkan yang tentunya harus berdasarkan kaidah-kaidah ekologi yang ada. 
    Beberapa contoh dalam pemanfaatan mangrove yaitu pengolahan daun mangrove untuk dijadikan pewarna tekstil, penggunaan buah mangrove untuk dijadikan manisan, penggunaan batang mangrove sebagai bahan baku pembuatan arang yang sangat baik karena memiliki kandungan karbon yang sangat tinggi serta pengolahan terhadap limbah dari pohon mangrove (daun, batang dan akar) menjadi sebuah karna seni kerajinan tangan (Hand craft). 

4.2.2 Ekosistem Lamun
    Pengamatan ekosistem lamun dilakukan di daerah Ujong Pancu. Pengamatan yang dilakukan ditujukan untuk mengetahui nilai tutupan lamun di daerah tersebut. Lamun didefenisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu berdapatasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup tergenang di dalam air dan memiliki rhizoma, daun dan akar sejati (Kikuchi dan J. M. Peres, 1977). Lamun umumnya tumbuh dalam jumlah yang relatif banyak dalam suatu lingkugan sehingga sering disebut dengan padang lamun. 
   Metode yang dilakukan dalam pengamatan tutupan lamun di daerah ini adalah dengan menggunakan metode transek kuadrat. Terdapat 3 plot pengmatan yang dilakukan pada ekosistem ini dimana jarak antar tiap plotnya adalah 10 meter. Selain pengamatan terhadap tutupan lamun, juga dilakukan pengmatan terhadap biota-biota apa saja yang berasosiasi dengan tumbuhan lamun.
    Spesies lamun yang ditemukan ini hanya satu spesies saja yaitu Thalassia hemprichii. Adapun ciri-ciri dari spesies lamun ini adalah memiliki helaian daun berbentuk pita, ujung daun membulat, tidak terdapat ligule, rhizoma tebal, dan helaian daun terdapat ruji-ruji hitam yang pendek. Selain itu terdapat 10-17 tulang-tulang daun yang membujur (Den Hartog; Philips dan Menez 1977). Substrat tempat hidup dari Thalassia hemprichii ini adalah subsrat berpasir, dan keadaan substrat tempat pengmatan ini dilakukan juga cocok dengan karakteristik tempat hidup dari spesies ini. Selain itu, Thalassia hemprichii juga umum ditemukan pada perairan yang relatif dangkal dengan keadalaman maksimal ditemukan spesies ini pada kedalaman 25 meter.
    Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan didapat nilai penutupan lamun di setiap plot secara berturut senilai 9,13 , 16,13 , dan 3,88. Nilai tersebut didapat berdasarkan dari perhitungan menggunakan rumus yang tertera pada bagian analisa data. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa luas penutupan dari lamun di lokasi pengamatan sangat rendah karena tidak mencapai nilai 50. Rendahnya nilai dari luas penutupan lamun di daerah ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan yang ada disekitarnya. Jika ditinjau dari parameter fisika dan kimianya, perairan tempat padang lamun ini tergolong normal. Maka dari itu, faktor yang paling memberikan pengaruh terhadap kondisi lamun di daerah ini adalah dari aktivitas manusia. Lokasi pengamatan dari lamun ini hanya berjarak sekitar 10-30 meter dari garis pantai dengan kedalaman yang hanya setinggi lutut. Jarak dan kedalaman ini sangat mudah diakses oleh masyarakat yang tinggal disekitar daerah tersebut.
   Akses yang mudah tersebut dijadikan masyarakat sebagai tempat melakukan mata pencaharian dimana pada saat praktikum terlihat bahwa para masyarakat disekitar daerah tersebut tengah mencari udang untuk dijual. Aktivitas masyarakat tersebutlah yang memberikan dampak kurang baik terhadap persebaran lamun di daerah ini. Selain itu daerah padang lamun ini yang kedalamannya tergolong sangat dangkal juga menjadi ancaman bagi eksistensi dari padang lamun ini. Pasalnya, kedalaman yang sangat dangkal dengan jenis substrat yang berpasir sangat rawan untuk terjadinya proses sedimentasi yang dapat menutupi daun dari lamun sehingga lamun tidak dapat berkembang dengan baik. Apalagi pada daerah ini gelombang yang terjadi relatif tinggi dan pecah di daerah yang berada dekat dengan hamparan padang lamun.
    Gelombang pada daerah ini tergantung pada musim yang sedang terjadi. Umumnya pada saat musim timur perairan relatif tenang dan gelombang yang dihasilkan tidaklah terlalu tinggi. Berbeda dengan saat angin musim barat, kondisi perairan sangat tidak stabil dan gelombang yang terjadi relatif tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan lamun pada daerah ini menjadi kurang produktif.
    Selain pengamatan terhadap penutupan lamun di daerah ini, juga dilakukan pengamatan terhadap biota-biota yang berasosiasi dengan padang lamun ini. Sayangnya karena kondisi perairan yang sangat keruh, pengamatan secara langsung tidak dapat dilakukan meskipun sudah menggunakan bantuan masker. Jadi, pengamatan terhadap biota yang berasosisasi dengan padang lamun ini dilakukan dengan menyusuri petak transek kuadrat dengan tangan dan mengambil biota-biota yang tersentuh ada petak transek kuadrat tersebut. Adapun biota-biota yang didapat pada daerah padang lamun ini seluruhnya adalah gastropoda.
    Pada ekosistem padang lamun kelimpahan gastropoda sangat penting pengaruhnya dalam struktur rantai makanan. Hewan ini bersifat menetap pada dasar perairan dan sebagian membenamkan diri dalam pasir berlumpur. Oleh karena itu, adanya perubahan lingkungan akibat eksplorasi yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem, dimana hewan berperan sebagai makanan bagi organisme lain. Kelimpahan organisme ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam hidupnya hewan ini membutuhkan suatu lingkungan pendukung yang sesuai dengan sifat biologinya.

4.2.3 Terumbu Karang dan Ikan Karang
    Pengamatan terhadap ekosistem terumbu karang dilakukan pada perarairan pantai Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Kabupaten Aceh Besar. Pengamatan dilakukan pada sea wall bagian dalam yang ada pada daerah ini. Adapun metode yang digunakan adalah metode PIT (Point Intercept Transect) dimana pencatatan terhadap terumbu karang dilakukan setiap 50 cm sekali pada garis transek. Terdapat 5 plot pengamatan yang dilakukan dengan masing-masing plot berjarak sejauh 30 meter. Adapaun pengambilan data dilakukan dengan menggunakan bantuan alat snorkeling dan sabak untuk mencatat data yang diperoleh dari sepanjang transek dibentangkan.
    Berdasarkan pengamatan yang dilakukan didapat 3 jenis life form terumbu karang yang terdiri dari 2 genus yang berbeda. Life form adalah bentuk hidup yang dimiliki dari terumbu karang. Setidaknya terdapat 7 jenis life form yang digunakan secara umum yaitu branching yang memiliki percabangan, massive yang berbentuk padatan seperti batu atau biasa juga disebut sebagai karang otak karena mempunyai pola seperti struktur otak, sub massive yang berbentuk abstrak namun hampir membentuk padatan seperti massive, tabular  yang berbentuk seperti meja dan biasa disebut sebagai karang meja, foliose yang berbentu seperti lembaran daun, fungia yang berbentuk seperti jamur dan umumnya hidup soliter serta digitate yang berbentuk menjari.
    Life form yang ditemukan pada daerah ini adalah digitate, branching dan sub-massive. Life form  ini diketahui mempunyai daya pertumbuhan yang tinggi namun rendah dalam hal adapatasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi disekitarnya. Sementara untuk genus dari terumbu karang yang ditemukan ada 2 jenis yaitu Acropora dan Pocilopora. Genus karang ini adalah genus karang yang paling umum dijumpai pada perairan Indonesia hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh  Razak (2005) yaitu “Beberapa jenis karang yang umum dijumpai antara lain karang bercabang dan karang meja dari genus Acropora, karang mawar dari genus Montipora, karang otak dari genus porites atau favia, karang bercabang dari genus Pocilopora, Karang jamur dari genus Fungia yang umumnya hidup bebas dan berbentuk seperti piringan, dan karang biru dari genus Heliopora (bagian dalam kerangka karan ini berwarna biru, sedangkan kebanyakan jenis karang lain berkerangka putih)” . 
    Data hasil pengamatan kemudian diolah menggunakan rumus dan didapatkan hasil yang dilampirkan pada akhir laporan ini. Berdasarkan hasil olahan data tersebut diperoleh nilai keanekaragaman untuk Acropora, pocilopora, serta batu dan pasir berturut-turut adalah -0,21 , -0,16 , -0,24 dan -0,34. Berikutnya nilai keseragaman secara berturut-turut adalah -0,1 , -0,1 , -0,1 , -0,2. Berdasarkan pada nilai keseragaman berdasarkan Krebs (1972) nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa keseragaman komunitas di daerah ini sangat rendah. 
     Sementara itu untuk nilai dominansi yang tercatat, nilai tertingginya diperoleh dari batuan yang merupakan penyusun sea wall dengan nilai 0,67 berikutnya diikuti oleh dominansi pasir dengan nilai 0,01 dan nilai tersebut tergolong kepada dominansi rendah berikutnya secara berturut nilai dominansi dari Acropora dan Pocilopora yaitu 0,002 dan 0,001.
Selain itu juga dilakukan perhitungan terhadap percent cover (%) dari daerah pengmatan ekosistem terumbu karang ini. Berdasrkan pengolahan data yang telah dilakukan didapat percent cover dari Acropora senilai 4,7%, Pocilopora senilai 3,3%, diikuti tutupan dari batu dan pasir yang masing-masing nilainya adalah 81,7% dan 10,3%.
    Berdasarkan pembahasan diatas, diketahui bahwa terdapat korelasi atau hubungan antara nilai dominansi dan nilai dari luas tutupan. Dimana, semakin besar nilai dominansi dari data yang diperoleh maka semakin besar pula nilai luas tutupannya.
    Rendahnya nilai tutupan karang pada bagian dalam dari sea wall ini tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor utama yang mempengaruhi keadaan terumbu karang adalah kurangnya sirkulasi air karena air dari laut lepas terhalang oleh sea wall. Keberadaan sea wall sebenarnya memberikan manfaat yang baik bagi keadaan pantai yaitu sebagai pemecah ombak sehinga gelombang yang datang tidak langsung menghantam garis pantai dan dapat mengurangi abrasi yang terjadi di garis pantai. 
    Namun, keberadaan dari sea wall ini juga memberikan dampak yang kurang baik terhadap biota laut terutama terumbu karang. Selain karena kurangnya sirkulasi air yang membawa nutrien, kondisi substart yang berpasir sehingga kurang cocok untuk pertumbuhan terumbu karang. Belum lagi daerah bagian dalam sea wall ini juga terkena dampak langsung dari aktivitas manusia seperti pemancing yang sembarang menginjak batu tanpa memperhatikan keberadaan karang, atau bahkan pengujung wisata yang membuang sampah sembarangan di perairan bagian dalam sea wall ini.
    Keberadaan terumbu karang sangat penting dalam menjaga stabilitas di suatu perairan. Adanya terumbu karang pada suatu perairan maka secara otomatis produktivitas di perairan tersebut akan meningkat pula, contohnya yaitu komunitas dari ikan karang atau biota-biota lain yang berasosiasi dengan terumbu karang akan meningkat dan perairan ini dapat dijadikan objek wisata atau lokasi penelitian yang lebih baik lagi kedapannya.
    Pada ekosistem terumbu karang ini, juga dilakukan pengamatan terhadap keberadaan ikan karang. Pengamatan terhadap ikan karang dilakukan menggunakan metode belt transect dimana dilakukan pencatatan terhadap ikan karang yang berada 2,5 meter ke kanan dan kiri dari garis transek yang dibentangkan.
    Terdapat 4 jenis ikan yang ditemukan saat pengambilan data berlangsung. Ikan-ikan tersebut adalah  Ambasis gimnocephalus, Abudefduf bengalensis, Chromis scotochiloptera dan Epibulus insidiator. Keempat spesies ini adalah ikan yang memang habitatnya adalah pada perairan tropis. Ambasis gimnocephalus adalah ikan dengan jumlah individu yang paling banyak ditemukan yaitu 27 ekor. Tingginya penemuan jumlah individu dari ikan ini dikarenakan ikan ini hidup secara berkolompok berkelompok (Schooling) dan hidup di perairan yang dangkal. Sementara itu ikan dengan jumlah individu terbanyak kedua adalah Abudefduf bengalensis dengan jumlah individu sebanyak 18 ekor. Sementara individu ikan yang paling sedikit ditemukan berasal dari ikan spesies Epibulus insidiator. Rendahnya jumlah individu dari ikan ini pertama adalah karena ikan ini memang hidup secara individual (soliter) dan biasa berada pada daerah terumbu karang yang luas tutupan karangnya baik dan berada di dekat dasar perairan. 
    Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data olahan berupa nilai keseragaman, nilai kelimpahan, nilai keanekaragaman dan nilai dominansi. Adapun nilai keseragaman yang ditunjukkan dari komunitas ikan karang pada daerah ini berdasarkan Kreb (1972) dikategorikan bahwa komunitas ini berada dalam keadaan yang tertekan. Tertekannya komunitas ikan karang pada daerah ini tentu saja terpengaruh oleh keadaan perairan yang kurang produktif dan keberadaan dari terumbu karang yang juga tidak terlalu baik kondisinya. Berikutnya, nilai dominansi tertinggi ditunjukkan oleh speies Ambasis gimnocephalus dan terendah oleh spesies Epibulus insidiator.

BAB V 
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari praktikum ini adalah :
a) Indeks nilai penting (INP) untuk mangrove pada daerah yang diamati tergolong baik dengan nilai 201,97%.
b) Rhizopora mucronata merupakan satu-satunya spesies yang ditemukan pada daerah pengamatan.
c) Jumlah total pohon yang ditemukan adalah 52 individu yang terbagi atas 45 pohon dewasa, 6 buah pohon anakan, dan 1 buah pohon dalam kategori semai.
d) DBH tertinggi dari pengukuran batang mangrove adalah 31 dan terendah 7,65 cm.
e) Kenakeragaman plankton pada vegetasi mangrove tergolong sedang.
f) Tidak ada terjadi domninansi dari sebaran spesies plankton yang didapat.
g) Rata-rata penutupan lamun pada daerah Ujong Pancu tergolong rendah.
h) Thalassia hemprichii merupakan satu-satunya jenis tanaman lamun yang ditemukan pada daerah pengamatan.
i) Terdapat 2 genus karang yang ditemukan pada pengamatan ekosistem terumbu karang yaitu Acropora dan Pocilopora.
j) Terdapat 3 Jenis Life form  yang ditemukan pada pengamatan ekosistem terumbu karang yaitu Branching, Sub-Massive dan Digitate.
k) Luas tutupan karang di daerah ini sangat rendah.
l) Luas tutupan yang mendominasi pada daerah pengamatan adalah batuan.
m) Terdapat 4 jenis ikan karang yang teridentifikasi pada daerah pengamatan yaitu Ambasis gimnocephalus, Abudefduf bengalensis, Chromis scotochiloptera, dan Epibulus insidiator.
n) Jumlah individu terbanyak ditemukan pada ikan Ambasis gimnocephalus dengan jumlah 27 spesies dan terendah pada ikan Epibulus insidiator dengan jumlah 4 ekor.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz. 2014. Pengaruh Salinitas Terhadap Sebaran Fauna Echinodermata. LIPI. Jakarta.
Bengen, Dietrich G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengolahan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor.
Calumpong HP, Menez EG. 1983. Thalassodendron clitiatum : An imreported seagrass from Philippines. Micronesia
Dedi. 2007. Ekologi Laut Tropis: Asosiasi dan Interaksi. Institut Pertanian Bogor.
Den Hartog, C. 1977. The Seagrasses of The World. North Holland Pub. Co. Amsterdam.
Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. Yogyakarta
Kikuchi dan J.M. Peres. 1977. Consumer ecology of seagrass beds. In : Seagrass ecosystem; a scientific perspective. Marcel Dekker, Inc. New York. Hlm: 147-194.
Kim C.S., David C. Mauer, and Ann E. Sherman. “The Determinants of Corporate Liquidity: Theory and Evidence”. Journal of Financial and Quantitative Analysis. Volume 33, Number 3, September, pp. 335-339.
Malikusworo H. 1998. Intergrated Coastal Zone Management Activities in Indonesia dalam U Han Tin dan Daw Yin Yin Lay (Editor), Intergrated Coastal Zone Management in Southeast and East Asia. Proceeding of the ECOTONE VII, 15-19 Juni 1998, Yangon, Myanmar. Hlm. 19-33
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nontji. A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta.
Odum EP. 1971. Fundamental of Ekology. Washington: Sounder Company.
Patriquin. D. G. 1972. The Origin of Nitrogen and Phosphorus for Growth of the Marine Angisperm Thalassia Testudinum. Mar.Biol. 15 : 35-40. Paulay
Rani C. 2014. Perubahan Iklim dan Kaitannya dengan Terumbu Karang. Universitas Hasanuddin.
Razak, T, B dan Simatupang, K. L. M. A., 2005.  Buku Panduan Pelestarian Terumbu Karang; Selamatkan Terumbu Karang Indonesia.  Yayasan Terangi, Jakarta,  113 hal.
Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi Laut. Jakarta: Djambatan
Tomascik, T., A. Nontji and M. K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Periplus Edition (Hk) Ltd. Singapore.


Untuk mendownload versi lengkap dari laporan ini silahkan klik Laporan Praktikum Ekologi Laut Tropis Pengamatan Ekosistem Mangrove,Lamun dan Terumbu Karang

Post a Comment

0 Comments